NUSA DUA - Bank Mandiri, Asian Development Bank (ADB), dan International Finance Cooperation (IFC) menjajaki kerja sama untuk memberikan kemudahan pembiayaan ekspor (letter of credit/LC) bagi perusahaan-perusahaan Indonesia yang melakukan ekspor ke negara-negara di Asia dengan risiko kredit tinggi.
Direktur Treasury dan International Banking Bank Mandiri Thomas Arifin mengatakan, dengan kerja sama tersebut, ADB akan menjamin risiko pemberian pembiayaan ekspor yang ditanggung oleh Bank Mandiri. Penjajakan kerja sama sudah dilakukan sejak bulan lalu.
"Kesepakatan dengan IFC telah ditandatangani pada bulan lalu, sedangkan dengan ADB kami sedang melakukan finalisasi kesepakatan," papar Thomas di sela Sidang Tahunan Dewan Gubernur ADB di BICC, Nusa Dua, Bali, Minggu (3/5/2009).
Kerja sama tersebut diharapkan akan mendorong ekspansi ekspor Indonesia ke pasar yang potensial di beberapa negara tapi memiliki risiko yang tinggi. "Permintaan dari negara-negara tersebut cukup besar, namun sayangnya selama ini kurang tergarap akibat tidak ada eksportir yang berani menerbitkan L/C saat akan ekspor ke negara-negara tersebut," papar Thomas.
Dengan jaminan dari IFC dan ADB, maka eksportir dan Bank Mandiri tidak perlu khawatir menerbitkan L/C saat akan ekspor ke negara-negara berisiko tinggi. Di sisi lain, lanjut Thomas, Bank Mandiri juga akan mendapatkan keleluasaan dalam pemberian pembiayaan ekspor. Pasalnya dalam BASEL II, pemberian pembiayaan yang risikonya ditanggung oleh IFC dan ADB, dikategorikan sebagai kredit yang memiliki risiko nol (zero risk).
Hal tersebut akan mendorong terjadinya dua poin positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah tertekannya kinerja ekspor Indonesia. Dengan situasi pasar ekspor tertekan seperti saat ini, maka perusahaan-perusahaan Indonesia akan memiliki peluang untuk mengalihkan ekspornya ke pasar-pasar baru yang belum tergarap maksimal. Selain itu di masa mendatang Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih baik dan tidak tergantung pada ekspor ke negara-negara maju seperti selama ini terjadi.
"Realisasi ekspor Indonesia pada triwulan pertama 2009 turun drastis 6-9 persen. Hal ini harus dicari solusi yang tepat, salah satunya dengan mengalihkan ekspor ke pasar-pasar alternatif. Perbankan harus mendukung solusi ini dengan memberikan pembiayaan yang lebih fleksibel," cetusnya.
Kedua, dengan kategori risiko nol, maka proses restrukturisasi utang yang dimiliki oleh eksportir akan lebih mudah. Thomas menjelaskan, menurunnya permintaan dari negara-negara maju menyebabkan banyak eksportir mengalami kesulitan melunasi kewajiban utangnya. Sementara untuk mengalihkan pasar, eksportir membutuhkan pembiayan baru. Persoalannya, selama ini perbankan enggan memberikan pembiayaan tambahan karena ada risiko-risiko baru yang harus ditanggung, dan eksportir belum melunasi kewajibannya yang lama.
"Kalaupun ada, bank umumnya mensyaratkan penambahan alokasi modal," imbuh dia.
Dengan jaminan penuh dari IFC dan ADB, maka alokasi modal untuk jaminan penerbitan L/C bisa dikurangi. Selain itu, eksportir akan mampu meraih pendapatan dari pasar yang baru, yang bisa digunakan untuk mempertahankan kelangsungan usaha, sekaligus melunasi kewajibannya kepada Bank Mandiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment